Pakaian adat Bundo kanduang
dideskripsikan dalam pidato adat yang cukup panjang. Karena bahasa pidato
adat itu sendiri merupakan bahasa Minang lama, sangat susah untuk bisa memahami
deskripsi tersebut dengan baik. Oleh karena itu, lewat tulisan ini saya
mencoba menjelaskan filosofi yang terkandung di dalam pakaian adat Bundo
Kanduang tersebut.
1. Tikuluak
Tikuluak
ini adalah pakaian untuk penutup rambut. Bentuknya mirip dengan tanduk
kerbau atau bangun kapal. Dua gonjong di kiri kanan yang sering
diidentikkan dengan tanduk kerbau ini sebenarnya lebih tepat jika diidentikkan
dengan bangun kapal. Karena, di dalam deskripsi pidato adat dikatakan
bahwa kedua gonjong tersebut merupakan lambang keharmonisan/ keseimbangan
antara adat dan syarak (ABS-SBK). Yaitu, “gonjong ateh balik batimpa,
lambang naraco bayangan adaik, adaik nan basandi syarak, syarak nan basandi
kitabullah”. Sama dengan filosofi bentuk kapal yang berbentuk
demikian untuk tujuan keseimbangan.
Tikuluak
ini sendiri dibuat dengan kain menyerupai selendang panjang yang dililitkan
sedemikian rupa sehingga membentuk struktur bangun tikuluak. Ujung
selendang yang satu berakhir di sebelah depan yang satu di sebelah
belakang. Nilai filosofi yang terkandung di dalam ini diungkapkan dengan
pidato adat “walau kabek buliah dibukak, namun buhua ndak buliah tangga”.
Artinya, bahwa adat Minangkabau terbuka untuk segala macam pemikiran-pemikiran
demi kebaikan, tapi tidak untuk hal-hal fundamental, seperti keyakinan dan
filosofi hidup. Hal ini menjadi pedoman dalam menyelesaikan segala
persoalan yang ada di dalam masyarakat Minangkabau.
Lilitan kain yang membentuk tikuluak ini tidak
terlalu kuat dan tidak pula terlalu lemah. Akan tetapi melilit rapat
tampa tekanan kuat dari kedua ujung kain. Hal ini dideskripsikan dalam
pidato adat dengan “tagangnyo bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang,
hati lapang paham saleso, pasiah lidah pandai barundiang”. Artinya,
pendekatan cara berfikir dalam adat Minangkabau itu tidak kaku. Hati dan
pendirian harus istiqomah, akan tetapi, dalam penyampaian, karena
menyangkut manusia lain, manusia banyak, maka harus mempertimbangkan segala
sesuatunya. Karena, keharmonisan dan ketentraman adalah hal yang
utama. Pendekatan ini digunakan terutama untuk masalah-masalah yang
memiliki potensi untuk melebar ke mana-mana. Artinya, perlu suasana yang
tenang untuk mengeluarkan dan melaksanakan keputusan.
Selajutnya, besarnya lingkaran tikuluak yang melekat ke
kepala disesuaikan dengan besarnya lingkaran kepala. oleh karena itu,
tidak ada ukuran detail untuk panjang serta lebar kain pembentuk tikuluak ini.
Hal ini menganalogikan dua hal; 1) bahwa tidak ada batasan untuk kekuatan
pikiran/ isi kepala, 2) tanggung jawab keibuan/ kewanitaan yang tidak ada
batasnya. Ini dideskripsikan dengan pidato adat “salilik lingkaran
kaniang, ikek santuang di kapalo, lebanyo pandindiang kampuang, panjang
pandukuang anak-kamanakan. Nan sapayuang sapatagak, di bawah payuang di
lingkuang cupak”. Nan sapayuang sapatagak mengacu kepada anak
kamanakan yang ada di dalam kaum, di bawah payuang di lingkuang cupak
mengacu kepada anak kemenakan non-kaum, tapi karena budaya malakok telah
dianggap sebagai bagian dari kaum sendiri.
Terakhir, pemakaian tikuluak itu sendiri tidaklah
kuat menekan kepala. Karena landasan yang memlingkari kepala itu sendiri
didisain menyerupai bentuk lingkaran kepala. Pengkondisian disain inilah
yang membuatnya kokoh meskipun tidak dipasang dengan kuat, tanpa bantuan alat
untuk menahan agar melekat kuat ke kepala. Hal ini di dalam pidato adat
dikatakan dengan “guyahnyo bapantang tangga, kokohnyo murah diungkai”.
Nilai filosofi yang terkandung di dalamnya mirip dengan “tagangnyo
bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang”, yaitu tidak kaku dalam hal
berfikir dan bersikap. Pikiran harus terbuka, tidak terbelenggu oleh
hal-hal yang bersifat teoritis. Karena adat adalah masalah kemanusiaan
yang terus berjalan.
2. Baju Kuruang
Baju Bundo Kanduang ini dikenal dengan nama Baju
Kuruang. Sesuai dengan namanya, maka, bangun baju ini tidak mungkin
ketat. Karena, berbeda dengan pembalut, konsep kurungan adalah
menyembunyikan apa yang di dalamnya. Oleh karena itu, baju kuruang
mestinya longgar tapi tidak kedodoran. Lehernya tidak memiliki krah/
lipatan, badannya dihiasi dengan berbagai motif-motif yang dibuat dengan benang
perak, emas, dan hiasan lainnya. Lenganya, dililiti dengan beberapa
hiasan dari benang makau, di mana lilitan tersebut merupakan perpaduan benang
yang kecil dan yang besar. Bagian jahitan pangkal lengan juga ditutupi
dengan hiasan dari benang makau.
Hiasan pada badan dan penutup jahitan pangkal lengan
mengandung makna wewenang penuh untuk menutupi hal-hal yang bisa membuat resah
masyarakat, meskipun menurut adat kebenaran hal tersebut barangkali
salah. Misalnya, berbohong untuk kebaikan, berpura-pura untuk kebaikan,
dan lain sebagainya. Barangkali inilah strategi pencitraan (make-up)
ala Minangkabau. Hal ini terlihat dari pidato adat “Batabua perak
baukia, baturap jo banang ameh, basuji jo banang makau. Panutuik jahik
pangka langan, tando mambuhua ndak mambuku, mauleh ndak mangasan”.
Selanjutnya, hiasan berbentuk lilitan garis perpaduan benang
kecil dan besar pada lengan mengandung makna bahwa; 1) bundo kanduang
bekerja dengan aturan dan etika, 2) bundo kanduang tidak membedakan
perlakuan antara anak-kemenakannya, 3) anak kemenakan tersebut selalu
mengiringi untuk melindungi dan menjaga bundo kanduang tersebut.
Hal ini tersirat dalam pidato adat, “Langan balilik suok kida, basisik
makau kaamasan, gadang basalo jo nan ketek. Tandonyo bundo bapangiriang,
tagak baapuang jo aturan, baukua jangko jo jangkau, unjuak baagak bainggok-an”.
3. Kodek
Kodek
ini adalah perlengkapan yang dililitkan di pinggang sebagai bawahan yang
bentuknya berupa kain panjang. Dalamnya sampai ke tumit, dibalutkan ke
pinggang dengan arah balutan menuju kiri sehingga unjungnya mengarah ke
kiri. Ujung balutan bagian atas dan bawah membentuk garis serong.
Cara pemasangan yang khas ini berkaitan dengan pidato adat “Bajalan si
ganjua lalai, pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu
tataruang patah tigo, tibo di lasuang ramuak rampak”. Artinya, bundo kanduang
itu berjalan berdaasarkan aturan dan dengan etika. Etika yang menunjukkan
kelemah-lembutan dan keagungan sifat kodrati seorang wanita yang bahkan secara
kasat mata terlihat seperti tidak akan mampu menyakiti siapapun (dalam hal ini
dianalogikan dengan semut). Aturan yang bisa bisa menghancurkan yang
“keras” sekalipun. Pendek kata, wanita Minangkabau itu lembut
pembawaannya tapi keras dalam menjalankan hal-hal yang sifatnya prinsipil.
4. Salempang
Salempang merupakan kain hiasan yang dilingkarkan dari bahu
sebelah kiri ke pinggang sebelah kanan. Simpul ikatannya tidak mati tapi
berupa simpul yang bisa ditarik dengan mudah untuk melepaskannya.
Salempang ini adalah simbol dari tugas pokok dari bundo kanduang, yaitu
mengenai pengelolaan sako dan pusako. Pengelolaan sako
bukan berarti menjaga gelar adat, tetapi menjaga dan mendidik atau
memperhatikan pendidikan generasi penerus gelar tersebut. Sedangkan
pengelololaan pusako berarti mengelola dan memanfaatkan harta secara
baik untuk kesejahteraan kaumnya. Dalam hal pengelolaan pusako ini
bundo kanduang dikenal juga dengan sebutan umbuak puro, alias
juru kunci harta kaum/ nagari. Hal ini tercermin dari ungkapan pidato
adat “Salempang suto bajumbaian,…….., kapalilik anak kamanakan, kapangabek
sako jo pusako, nak kokoh lua jo dalam. Kabek salilik babuhua sentak,
rapek nagari nak maungkai, tibo nan punyo tangga sajo”.
5. Tarompah
Prinsip dasar yang terkandung di dalam filosofi ini adalah
ajaran untuk memiliki dasar dalam bertindak. Dasar itu adalah
pengetahuan/ ilmu tentang hal yang akan dihadapi, stategi, persiapan diri lahir
dan batin sebelum menyatakan sikap ataupun bertindak. Tujuannya, supaya
tidak ragu-ragu dalam bertindak, siap menghadapi segala kemungkinan yang bisa
saja terjadi, melindungi diri dari efek-efek negatif yang barangkali
muncul. Hal ini tercermin dari pidato adat “Malangkah jan salelo kaki,
maagak kuku jan tataruang, ingek sabalun kanai. Kulimek sabalun habih,
maminteh sabalun hanyuik, malantai sabalun lapuak. Gantang tatagak jo
lanjuangnyo, sumpik tatagak jo isinyo, adaik tatagak jo limbago. Adaik nan
batalago buek, cupak nan tarang samato, taga dek sifaik nan badiri”.
6.
Subang, lukuah, galang, cincin.
Subang, lukuah, galang, cincin di atas merupakan perhiasan untuk
perempuan dalam konteks berpakaian Minangkabau. Subang adalah perhiasan
untuk telinga, lukuah untuk leher, galang untuk tangan, dan cincin untuk
jari. Mengenai materi dan bentuk perhiasan tersebut tidaklah
disebutkan. Hanya saja dibatasi dengan istilah “alua jo patuik ka
ukuran”. Artinya, pakailah perhiasan pada tempatnya, yaitu
sesuai dengan hakikatnya yaitu untuk menghias, untuk memumbulkan kesan yang
lebih baik. Oleh karena itu, hal terpenting dalam memilih dan menggunakan
perhiasan adalah dengan memperhatikan persepsi masyarakat sekitar tentang
perhiasan yang ingin dipakai, serta keadaan/ kondisi diri sendiri. Hal
ini tercermin dari ungkapan pidato adat “Takanak lukuah di lihia, bagalang
salingkaran langan, bacincin salingkaran jari, alua jo patuik sinan
bahimpun. Latakkan suatu pado tampeknyo, dimakan alua jo patuik, di dalam
cupak jo gantang. Mahawai jan sapanjang tangan, unjuak bahagak
bahinggoan, malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio”.